Pendekatan Kesehatan Mental
Ada 5 pendekatan yang mendukung kesehatan
mental seseorang yaitu: Pendekatan Statistik, Pendekatan Normatif, Pendekatan
Distres Subjektif, Pendekatan Fungsi / Peranan Sosial dan Pendekatan
Interpersonal. Penjelasannya
dapat dilihat sebagai berikut:
a. Pendekatan
Statistik
Pendekatan
ini beranggapan bahwa orang yang sehat secara mental/ normal adalah orang yang
melakukan tingkah laku yang umumnya dilakukan oleh banyak orang lainnya. Atau
dengan kata lain, suatu tingkah laku disebut sehat bila tingkah laku tersebut
memiliki frekuensi kemunculan yang tinggi dalam populasi. Sebaliknya, orang
yang bertingkah laku tidak seperti tingkah laku kebanyakan orang dianggap
sebagai orang yang tidak normal atau tidak sehat.
Sepintas
pendekatan ini terlihat benar. Namun bila dipikirkan secara mendalam, tampak
beberapa kelemahannya. Ada tingkah laku yang jarang dimiliki oleh orang
kebanyakan tapi tetap dianggap normal atau sehat. Misalnya mampu berbicara
dalam 5 bahasa. Jarang ada orang yang memiliki kemampuan tersebut, namun orang
yang memilikinya dianggap sebagai normal. Atau misalnya orang yang mampu
berjalan diatas api tanpa terbakar. Tetap dianggap sebagai orang yang sehat
atau normal. Sebaliknya, ada tingkah laku yang sebenarnya tidak sehat tetapi
dilakukan oleh banyak orang. Misalnya merokok.
b. Pendekatan
Normatif
Pendekatan
ini melihat orang sehat secara mental berdasarkan apakah tingkah laku orang
tersebut menyimpang dari norma sosial yang berlaku di masyarakat ataukah tidak.
Tolok ukur yang dipakai dalam pendekatan ini adalah norma – norma yang berlaku
di masyarakat.
Orang
yang mampu menyesuaikan diri dengan norma masyarakatnya dianggap sebagai orang
yang memiliki kesehatan mental yang baik. Sementara orang yang tidak mampu
menyesuaikan diri dengan norma sekitarnya dianggap memiliki kesehatan mental
yang buruk.
Pendekatan
ini pun memiliki kelemahan. Ada tingkah laku yang sebetulnya menyimpang dari
norma yang ada tetapi dianggap sebagai normal, Misalnya tingkah laku
homoseksual. Masyarakat Barat sekarang ini menganggap perilaku homoseksual
bukan lagi dikategorikan sebagai penyimpangan seks. Perilaku korupsi yang
terjadi di negara
kita pada semua lapisan birokrasi, sekarang ini dianggap sebagai perilaku
normal. Sebaliknya, orang yang tetap berusaha berperilaku jujur malah dianggap
sebagai orang yang tidak normal dan bahkan “tidak sehat”.
c. Pendekatan
Distres Subjektif
Pendekatan
ini beranggapan orang dianggap normal atau sehat bila dia merasa sehat
atau tidak ada persoalan dan tekanan yang mengganggunya. Kelemahan pendekatan
ini adalah karena menekankan pada subjektivitas individu mengakibatkan tidak
ada ukuran yang pasti sehingga semuanya menjadi serba relatif, tergantung pada situasi
yang dihadapi. Contohnya, bila orang tiba – tiba berbicara terus menerus tanpa diketahui
artinya di muka umum, maka dia dianggap sedang sakit atau terganggu dan tidak
normal. Namun bila perilaku tersebut dimunculkan pada suatu ritual keagamaan, perilaku
tersebut dianggap wajar dan normal.
d. Pendekatan
Fungsi
/
Peranan Sosial
Pendekatan
ini melihat normal atau sehat tidaknya seseorang berdasarkan mampu atau
tidaknya orang tersebut menjalankan kegiatan hariannya. Orang dianggap sehat
atau normal bila dia mampu menjalankan fungsi dan peranannya dalam masyarakat
dan tidak mengalami gangguan dalam menjalankan tugas – tugas hariannya.
Kelemahan
pendekatan ini adalah tidak semua orang bisa dikatakan normal meskipun dia
mampu menjalankan fungsi dan perannya. Misalnya penderita gangguan bipolar (
manis depresif ). Pada saat orang yang bersangkutan mengalami episode mania,
dia mungkin menjadi bersemangat dan mampu melakukan berbagai aktifitas dengan
baik, padahal sebenarnya dia sedang terganggu.
e. Pendekatan
Interpersonal
Pendekatan
ini melihat normal atau sehat tidaknya seseorang atau apakah orang tersebut
mampu menyesuaikan diri dilihat berdasarkan kemampuan seseorang untuk menjalin
hubungan yang interpersonal dengan orang lain. Misalnya pendekatan ini, orang
dikatakan sehat dan mampu menyesuaikan diri dengan baik bila dia mampu menjalin
relasi dengan orang lain dan tidak menarik diri dari orang lain. Pendekatan ini
pun memiliki kelemahan, tidak selalu orang yang menyendiri itu tidak sehat atau
tidak normal dan tidak mampu menyesuaikan diri. Terkadang kesendirian itu
penting supaya orang mampu memahami diri dengan lebih baik lagi atau juga
sebagai kesempatan untuk memulihkan diri. Juga tidak selalu orang yang mampu
menjalin relasi dengan orang lain merupakan orang yang sehat.
Mirisnya isu kesehatan mental masih melekat stigma negatif bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, jadi bagi yang mengalami penyakit mental merasa minder saat mau menggunakan layanan kesehatan mental. Tapi katanya dengan membaca artikel psikoedukasi secara intensif mampu menurunkan stigma sosial dan pribadi yang disematkan pada pengguna layanan kesehatan mental secara signifikan. Ini penelitiannya.
BalasHapus